Dokter udah ngevonis saya sebagai penyandang Gastritis Kronik.
Artinya, saya punya maag akut. Lambung udah luka dan jadinya intoleran ke segala makanan/minuman yang asam, pedas, atau nano-nano. Kalau nekad ngekonsumsi, asam lambung bakal naik dan ujung-ujungnya kepala pening, mual-mual dan badan lunglai. Makanya, ga perlu pake fatwa MUI, Kopi itu haram hukumnya buat saya. Udah tahunan saya nggak pernah minum kopi. Udah kapok.
Tapi semua berubah sejak negara api menyerang. Kemarin pas pulang kampung ke Temanggung, bos Kornel dan Mas Iman – temen kantor – nitip dibawain kopi khas Temanggung. Dan harus yang masih bijian. Alkisah, kopi dari kampung saya ini lumayan ngehits di jagad perkopian, punya taste yang unik dan termasuk jenis kopi yang paling banyak beredar di pulau Jawa.
Kopi Temanggung biasanya ditanem di lereng Sumbing dan Sindoro: si gunung kembar yang penampakannya mirip stereotype gambar pemandangan anak SD. Kopi di sini juga masih termasuk komoditas tradisional. Jadi jangan harap ada outlet modern macem Setarbak yang jual kopi bijian. Kalau mau kopi bijian yang harus hunting ke petani langsung. Atau kalau rejeki, bisa datang di acara Festival Kopi Temanggung, kaya yang kemarin saya datengin.
Dari proses hunting perbijian inilah saya ketemu Mas Yudi, petani kopi ciamik dari Kuwadungan Jurang. Dia bukan barista, tapi dia paham soal rasa dan filosofi kopi. Mas Yudi berujar, “rasa dan aroma kopi itu otentik, tergantung daerah kopi itu ditanam, spesies kopi, tanaman apa yang ditanam di sekitar kopi, cara roasting, termasuk siapa yang nanem mas”. Sungguh mulia penjelasanmu Mas. Akhirnya saya ceritain problem maag saya, dan Mas Yudi meyakinkan: “Mas, kopi itu nggak akan bikin maag kalau cara minumnya bener”. Lalu berkhotbah soal cara minum kopi ke saya. Tak lupa, dia juga duduk di antara dua khotbah untuk memberi kesempatan jamaah memanjaatkan doa.
Karena pemasaran yang bikin penasaran ala Mas Yudi, begitu nyampe Jakarta, kopi Temanggung yang harusnya buat oleh-oleh jadinya saya palakin, alias diambil dikit buat dicobain sendiri :p. Berbekal alat giling kopi di kantor, jadilah seduhan kopi Arabica dari daerah Kuwadungan Gunung. Pas nyobain rasanya takut-takut, kuatir asam lambung naik. Tapi berbekal wejangan Mas Yudi, saya nekad aja.
Hasilnya: Kopi Temanggung yang saya minum udah aromanya kuat, enak banget, rasanya asem-asem bikin merinding, after tastenya kuat, dan akhirnya bikin saya tambah penasaran sama kopi. Yang bikin hepi: nggak ada efek samping babar blas (red: sama sekali). Dua hari berikutnya, saya nyobain bikin kopi dari lereng Sindoro, tetep pake tipsnya Mas Yudi. No side effect dan akhirnya bikin tambah gembira.
Hari ini saya nongkrong di warkop di apartemen. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, saya mesen kopi item. Kali ini yang dipesen adalah Arabica, Sumatera Lintong. Plus saya nyicipin kopi Gayo yang dipesen temen. Buat saya, taste Gayo yang asem dan fruitful lebih cocok sama selera. Tapi yang lebih penting: tetep nggak ada efek samping sama sekali. Saya sehat walafiat. Akhirnya saya tersadar kalau harta yang paling berharga adalah …… kesehatan (keluarga juga sih, kalau kata Abah).
Habis test drive berbagai macam kopi saya jadi paham kenapa kopi itu disebut “the wine of Moslem”. Kopi itu nikmat, bikin nagih, tapi tetep halal. Plus filosofi dan cara minumnya juga seringgit dua ringgit lah sama wine (maksa!).
Jadi, sejak hari ini, saya sudah cabut fatwa haram ke kopi. Palu sudah diketok bahwa saya akan mulai belajar minum kopi. At least mulai belajar jenis-jenisnya plus belajar “ngerasain” bedanya kopi satu sama kopi lain. Dan tetep, saya bakal pegang nasehatnya Mas Yudi buat nikmatin kopi with less side effect:
- Pertama, pilih kopi spesies Arabica. Pas nyampe mulut, kopi ini punya taste yang lebih asam ketimbang spesies Robusta. Tapi pas nyampe perut, efek ke asam lambung jauh lebih rendah karena kadar kafeinnya juga rendah.
- Kedua, makan dulu sebelum minum kopi. Jadi kalaupun asam lambung menggelinjang, at least udah ada makanan yang jadi benteng takeshi.
- Ketiga, minum kopinya dibawa nyantai biar lambung ga kelojotan. Jangan kaya sapi lagi digelonggong. Sruput pelan-pelan, buat kumur-kumur di mulut macem bangsawan lagi minum wine sambil ngeliat budak-budak ngebangun piramida. Nikmati after-tastenya, rasain asem-asemnya. Kalau ada rasa pedes dikit, mungkin itu karena ada kulit cabe nyangkut di gigi.
- Keempat, Mas Tani bilang, “Mas kalau minum kopi sachet ya lain cerita. Wong itu bukan kopi, makanya jadi maag”. Bener juga sih, kalau liat kopi sachet, udah kebanyakan ingredients yang aneh-aneh dan berbahan kimia. Apalagi Luwek White Koffie. Jadi supaya aman, pastiin minum kopi yang bijinya berkualitas dan organic. Sekalian turut serta dalam program penyejahteraan petani kopi endonesah.
- Kelima, cari kopi yang sesuai sama selera. Yang tastenya pas sama ideologi ekonomi dan keyakinan kita. Yang cocok sama pilihan hati dan bikin kita bilang “nah, ini dia jodohku”. Jadi, at least tetep puas dan ga nyesel-nyesel amat kalau ujung maag kita tetep kumat. Hahaha
Jadi, buat mas dan mbak yang punya maag, jangan lagi takut ngopi. Tips dari Mas Yudi di atas udah manjur banget buat saya. Padahal maag saya ini lumayan kronis, at least dua hari sekali pasti kumat. Saya sendiri jadi bahagia gegap gempita karena akhirnya bisa nyicipin kopi lagi. Ini ibaratnya kaya lagi maen game RPG: levelnya naik dan akhirnya siap masuk ke dungeon berbahaya buat menjajal petualangan baru.
Banyak temen-temen saya yang penikmat kopi, jadi siapa tahu gara-gara kopi ini jadi saya bisa mempererat persaudaraan dan silaturahmi. Konon katanya, kopi juga baik buat pencernaan dan peredaran darah, plus ngebakar lemak. Jadi siapa tau habis ini jadwal badminton dan renang bisa saya tuker pake jadwal ngopi-ngopi cantik.
Yaudah lah, pokoknya yuk belajar ngopi. Yang sakit maag, ayok dijajal. Kalau cocok, kita bicarakan lagi kedepannya bakal gimana.
PS: Tips ini manjur buat saya. Kalau nggak manjur buat anda, mungkin kita tuh beda dan nggak mungkin disatuin.