DAVAO : KOTA RAMAH TANPA PERLU SUMRINGAH

Image
Smoke Free Davao, cukup ramah untuk saya yang tidak merokok. 🙂

“Bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling ramah” –

(Maaf), segera lupakan jargon ini begitu anda berkunjung ke Davao. Kota di Kepulauan Mindanao, Philippine bagian Selatan ini rupanya surplus “stok” keramahtamahan, jauh di atas Indonesia.

Saya, yang asli Jawa – identic dengan “mesam-mesem” dan “unggah-unguh” – pun merasa tersaingi begitu berinteraksi dengan penduduk Davao. Di Indonesia, orang asing akan disuguhkan senyuman. Selesai. Sementara di Davao, senyum lebar mungkin tak mudah tertebar, tapi coba bicaralah, dan anda akan menemukan orang-orang yang sangat terbuka, super helpful, dan tanpa pamrih.

Pengalaman itu saya rasakan ketika medio April, saya dan beberapa rekan melewatkan 4 hari di Davao. Awalnya kota ini terasa begitu asing bagi kami. Tapi begitu kami berinteraksi dengan warga kota, kami yakin trip ini akan menyenangkan dan mudah. Pasalnya, iklim kota ini sangat kondusif untuk orang asing. Nggak perlu kuatir “nyasar”, jambret, etc. Beberapa yang saya yakini membuat Kota ini sangat nyaman adalah :

Taksi dan Supirnya

Saya yakin semuanya setuju kalau kualitas taksi dan pengendaranya sangat menentukan kenyamanan, keamanan dan kesuksesan trip kita. Di Davao, semua prasyarat itu terkabul. Semua supir taksi yang kami temui tak hanya ramah, tapi juga fasih berbahasa Inggris. Mereka juga tak akan memutar-mutar rute (checked via GPS) seperti halnya di Jakarta. Dan, berapapun kembalian ongkos taksi, mereka akan mengembalikannya. Saya pernah kelebihan mulai dari 5 Peso (1 Peso = Rp 250,-), 10 Peso, sampai 40 Peso, semuanya dikembalikan. Supir taksinya nggak “tengil” dan nggak nipu. Aman.

Pelayanan Publiknya

Pernah nggak, anda ke supermarket dan bawa belanjaan yang lumayan banyak. Lalu anda minta kardus ke kasirnya. Tanggapan dari kasir atau petugasnya mungkin “hmm..nggak ada mas…”, atau “kalau nggak belanja di sini ya nggak bisa mas…”, atau “ada mas, satunya 10 ribu”. Di Davao, percaya atau tidak, ketika Rika, rekan saya (yang tidak belanja di supermarket itu) mau beli kardus ke kasir, tanggapannya adalah seperti ini : (Translate bebas Bahasa Inggris + Tagalog)

Rika                : Mas jual kardus gak?

Kasir              : Duh, kami nggak jual mbak. Butuh seberapa gede emangnya?

Rika                : Segini mas (sambil membuat gesture ukuran box)

Kasir              : Oh oke. Tunggu sebentar. (Langsung lari. Ya LARI ke gudang untuk carikan kardus.)

Satu menit kemudian, Kasir itu kembali, membawa Kardus + Tali Rafia + Gunting. Dan berujar “Mana mbak barangnya? Sekalian saya pack dan iketin.”

Saya dan teman-teman langsung bengong. Kami kan cuma mau beli kardus, barang juga ditinggal di hotel. Eh si masnya super proaktif dan helpful. Akhirnya kami jelaskan kalau kami nggak bawa barangnya, kardus + tali rafia pun diserahkan ke kami, semua gratis plus bonus senyum.

Kami juga menemukan pelayanan public lain yang super oke. Misalnya, Jojo seorang petugas hotel yang hampir setiap hari kami datangi untuk kami minta rekomendasi tempat makan / jalan, dan kami tanyai arah. Lalu seorang pramuniaga di Toko Merchandise yang setia mengikuti kami memilih barang, mendorongkan troli dan memberikan rekomendasi, bagus dan buruknya barang itu. Lalu Pawpaw, seorang tourist guide yang hapal sekitar 300 trivia quiz untuk memastikan penumpang bis tidak bosan dan tidak tidur.

Regulasinya

Kota ini diatur dan dikelola dengan rapi. Mungkin itu didukung beberapa regulasi seperti  :

  • Smoke Free Davao. Yak, merokok di tempat terbuka akan kena sanksi tegas.
  • Diskon 20% ongkos taksi dan beberapa layanan public untuk anak-anak dan orang tua.
  • Bisnis hilir migas di Phillippine sangat kompetitif di mana perusahaan migas Negeri dan Swasta dikelola secara fair. Pengelola dan jumlah SPBU sangat banyak dan beragam. Konsumen bebas pilih kualitas dan antrian panjang pun bisa dihindari.

Intinya, Davao menjanjikan pegalaman keramahtamahan yang berbeda. Yang tidak literal. Yang tidak identic dengan senyuman saja. Tapi lekat dengan ketulusan dan keingingan membantu. Mungkin kami tidak mendapat banyak senyuman di kota ini, tapi jelas kami meninggalkan kota ini dengan senyum lebar. Itu yang saya rasa belum bisa kita temukan di Indonesia.

Davao mungkin bukan kota yang sangat cantik, maju, atau modern. Tapi kenyamanannya memberi ruang tersendiri dalam memori kami.  Keceriaan Davao membekas setidaknya sampai kami tiba di Jakarta, sebelum kesan itu dihancurkan oleh Taksi Bandara (Ekspres) yang membawa kami ke Hotel di Jakpus. Yang memutar-mutarkan rute, menolak mendengar konsumen, dan sempat adu argument sengit dengan saya di tengah keheningan pukul 01.00 dini hari.

Yah, inilah keramahan negeri kita.

Leave a comment